Masyarakat multkultural merupakan masyarakat yang
memiliki beragam kebudayaan tanpa membedakan suku, ras, agama, dan sebagainya.
Multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang mengakui dan mengangungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Masyarakat
majemuk (plural society) belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat
multikultural (multicultural society), karena bisa saja di dalamnya
terdapat hubungan antarkekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris
yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi.
Dari masyarakat bali ini kita akan mendapatkan
cermin dan pembelajaran dari sebuah masyarakat multikultural, dimana masyarakat
disana sangat toleran terhadap agama yang lainnya.
(Gambar
Masjid Jamik Safinatussalam, di Desa Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali)
Bali sangat terkenal sebagai satu-satunya wilayah di
Indonesia dengan pemeluk Hindu terbesar. Ini merupakan berkah Tuhan yang
memperkaya keragaman di Bumi Nusantara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata sering kali membuat kita lupa
akan satu hal yang penting, bahwa Pulau Dewata ini sebenarnya juga merupakan cermin
bagi toleransi dan kerukunan hidup beragama.
Toleransi
kehidupan beragama di Bali telah berlangsung berabad-abad dan memiliki fondasi
kultural yang sangat kuat, sehingga tidak mudah terkoyak. Sejauh ini kita tidak
pernah mendengar ada masalah dalam hubungan antaragama di Bali. Umat Hindu dan
Islam di Bali hidup berdampingan dengan damai, saling tolong, dan saling menghargai.
Mereka berbaur dengan masyarakat dan budaya setempat. Karena itu,
lembagalembaga adat yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Hindu di Bali
juga tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Islam di Bali, semisal tradisi
subak atau penggunaan nama-nama sesuai dengan urutan kelahiran seperti Wayan, Made,
Ketut, dan seterusnya.
Ujian berat bagi hubungan antaragama di Bali pernah
muncul ketika terjadi peledakan bom pada 2002 (dan kemudian ledakan bom pada
2005). Saat itu Bali luluh lantak oleh serangan yang dilakukan orang-orang yang
mengklaim sedang berjihad atas nama Islam. Lebih dari satu tahun setelah
serangan bom Bali pertama (2002), suasana Bali benar-benar sunyi dan mencekam.
Orang bali tentu marah dengan kajadian tersebut. Namun, kemarahan mereka tidak
membabi buta. Mereka tahu membedakan antara Islam dan terorisme. Orang Bali
mengerti benar bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan perdamaian. Umat
Hindu Bali adalah orang-orang yang terbuka terhadap agama Islam. Meskipun Islam
agama minoritas, mereka sangat menghargainya. Orang Hindu Bali sangat concerned
dengan posisi, kelas, dan pembagian tugas. Politik dan agama masing-masing ada
tempatnya sendiri-sendiri. Politik sejajar dengan pasar, rumah sakit, restoran,
bandara, sekolah, gelanggang olahraga; sementara agama mempunyai posisi ”di
atas” yang berisi kitab suci, pura, dan para ulama (sulinggih). Penempatan
(positioning) inilah yang menjadikan agama begitu terhormat dan tidak mudah
diseret-seret ke politik. Sebaliknya, provokasi berbau politik tidak mudah
memasuki wilayah agama.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat Hindu,
terdapat sebuah desa yang bernama Pegayaman. Penduduk desa ini hampir semuanya
muslim. Kehidupan sehari-hari desa ini menunjukkan warna Islam yang kuat. Desa
Pegayaman oleh sebagian masyarakat Bali disebut sebagai Nyama Selam yang
artinya ‘masyarakat Islam. Di Desa Pegayaman inilah orang-orang Jawa dan Bugis
mengem-bangkan ajaran Islam dan berhasil mendirikan Masjid Safinatus Salam yang
diprakarsai Kumpi Haji Yahya. Safinatus Salam merupakan masjid tertua dan
terbesar di Buleleng, Bali. Masjid Safinatus Salam oleh masyarakat Pegayaman
dan sekitarnya dijadikan pusat pengembangan Islam di daerah Bali. Di desa ini
telah dibentuk jamaah-jamaah pengajian yang bersifat rutin. Semua kegiatan,
baik itu pengajian maupun hal-hal yang menyangkut ajaran Islam, pelaksanaannya
dipusatkan di Masjid Safinatus Salam. Dalam hubungan kemasyarakatan, tidak
pernah ada konflik yang disebabkan perbedaan agama. Membangun rumah dan sarana
umum, mereka tetap bergotong-royong walaupun berbeda agama. Bahkan, ketika
Masjid Safinatus Salam direnovasi pada 11 Maret 1986, tukang atau buruh yang
memperbaiki Masjid Safinatus Salam juga banyak dari orang-orang yang beragama
Hindu. Selain itu wujud nyata multikulturalisme di Bali juga
tercermin dari sikap masyarakat bali yang masyoritas hindu tetap memperbolehkan warga bali muslim untuk
melaksanakan ibadah sholat jum’at di hari raya nyepi.
(Gambar
masyarakat muslim bali yang tetap diperbolehkan beribadah sholat jum’at saat
hari nyepi)
Sikap toleran masyarakat bali memang dapat kita
jadikan sebagai contoh. Jika sebuah kelompok mayoritas dapat menempatkan
kelompok minoritas untuk mendapatkan indentitas dan pengakuan maka dengan hal
itu akan terbentuk kesederajatan dalam kehidupan yang harmonis. Meskipun
masyarakat bali kental dengan tradisi dan kebudayaan nenek moyang mereka, hal itu tindak menjadikan masyarakat disana
menjadi primodial dan apatis terhadap agama maupun budaya yang lainnya. Seiring
perkembangan jaman dan meningkatnya pendidikan dibali juga menumbuhkan
kesedaran dan semangat persatuan masyarakat untuk saling menghargai dan toleran
terhadap kelompok minoritas.
Itulah salah satu wujud masyarakat multikultural di
indonesia yaitu masyarakat bali yang sangat menghargai kaum minoritas agama
islam disana, mereka tahu benar bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap
kelompok minoritas agar selalu terjalin persatuan dan kehidupan yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar